02 Januari, 2024

FAVORIT: PULP FICTION (1994) - QUENTIN TARANTINO



MASTERPIECE. Satu kata yang paling pantas untuk disematkan kepada karya kedua Quentin Tarantino ini. Berdasarkan subjektivitas saya secara pribadi, saya menaruh film ini sebagai film terfavorit saya sepanjang masa. Pulp Fiction (1994) luar biasa di segala aspek, baik dari aspek teknis maupun non-teknis. Ini film terbaik dari semua film Tarantino, yang kita tahu filmnya selalu bagus. Bahkan jika dibandingkan dengan Inglourious Basterds (2009) dan Django Unchained (2012) yang kerap kali dikenal sebagai film terbaiknya, Pulp Fiction (1994) masih di atasnya. 

Kecerdasan Tarantino dalam mengolah plotnya membuat film ini dianggap sebagai karya revolusioner pada masanya. Film ini dimulai dari adegan perampokan dalam sebuah restoran oleh pasangan bernama Pumpkin (Tim Roth) dan Honey Bunny (Amanda Plummer). Ini salah satu adegan pembuka favorit saya sepanjang masa. Balutan dialog ringan dan intense di antara keduanya yang kemudian disambut oleh Miserlou karya Dick Dale & His Del-Tones berhasil membuat saya bertepuk tangan untuk pertama kalinya bahkan sebelum opening title muncul.


Pulp Fiction (1994) tidak memiliki konflik dan karakter utama yang jelas. Alurnya yang non-linier makin mempersulit saya untuk menceritakannya secara runtut. Menceritakan dua pembunuh bayaran, Vincent Vega (John Travolta) dan Jules Winnfield (Samuel L. Jackson) yang sudah lama bekerja untuk Marsellus Wallace (Ving Rhames). Suatu hari, Vincent diutus untuk menjaga istri dari sang bos, Mia Wallace (Uma Thurman). Ini merupakan pekerjaan sulit sebab Mia adalah seorang cegil yang sangat susah diatur. Kemudian di sisi cerita yang lain, ada juga petinju, Butch (Bruce Willis), yang sedang dalam negosiasi suap dengan Marsellus untuk mengalah di pertandingan tinju melawan musuhnya. Akan tetapi, Butch malah memenangkan pertandingan itu.

Klimaksnya mana? Tidak ada. Konflik utama? Tidak ada juga. Film ini benar-benar mengalir apa adanya. Penulisan dialog yang ringan dan lucu adalah senjata utama film ini. Seperti biasa, Tarantino gemar menebar banyak dialog unik di setiap adegannya. Kemudian ditambah dengan karakter-karakter ikonik yang tidak ditemui di film-film lain membuat saya sulit untuk menyebutkan adegan ikonik di film ini satu per satu. Sangat banyak, bahkan bisa dibilang setiap adegan di film ini memberikan pengalaman yang berbeda untuk penontonnya. Dialog-dialog soal haramnya babi untuk dimakan, debat soal takdir Tuhan, debat soal burger sebelum melakukan pembunuhan, belum lagi pembicaraan soal kaki, dan lain-lain. Salah satu adegan favorit saya adalah ketika Vincent dan Jules sedang berdebat di mobil kemudian Vincent tanpa sengaja melakukan kesalahan yang konyol, yang ternyata kekonyolan ini berdampak besar terhadap jalannya cerita. Adegan ini sangat, sangat lucu.


Sepertinya tidak sulit untuk menyukai semua karakter di film ini. Penokohan yang kreatif dilengkapi dengan pengembangan karakter yang solid makin menguatkan betapa ikoniknya karakter-karakter di film ini. Penataan rias, rambut, dan juga gestur di setiap karakter itu luar biasa menarik. Saya ambil contoh dari si 2 pembunuh bayaran, Jules adalah seseorang yang spiritual, di suatu adegan dia menunjukkan kepekaannya terhadap takdir dan menunjukkan kesetiaannya kepada Tuhan. Sedangkan Vincent, karakter favorit saya sepanjang masa, adalah karakter yang kosong, tidak punya tujuan hidup, seringkali mengacaukan rencana, dan konyol. Tarantino dengan 'jahil' menciptakan kesialan dan kekacauan di film ini melalui cara yang nyeleneh. Jadi, setiap Vincent buang air besar, terjadilah sebuah kekacauan. Ini baru deskripsi 2 karakter, karakter lain juga sama ikoniknya. Mia Wallace contohnya, Tarantino bisa mendeskripsikan seorang cegil seperti Mia hanya melalui penampakan kakinya. Penasaran? Tonton saja.


Selain adegan, dialog dan karakter, aspek yang juga brilian dari film ini adalah musik, sinematografi, dan juga kreativitas Tarantino untuk mendesain alurnya. Alur non-linier ini tampak sangat jelas mendeskripsikan film-film Tarantino. Alur non-linier yang ia desain sangat berbeda dengan Christopher Nolan, atau sutradara lain. Ketika Nolan kerap mendesain alur film-filmnya sebagai sebuah puzzle yang harus disusun rapi, Tarantino tidak. Lewat Pulp Fiction (1994), Tarantino hanya memberikan sajian makanan yang tampak berantakan secara penampilan, tetapi akan terasa lezat ketika sudah masuk ke dalam mulut. Itulah Pulp Fiction (1994), sebuah mahakarya yang revolusioner dan tak lekang oleh waktu. Sebuah mahakarya yang membuat saya makin jatuh cinta terhadap sinema dan segala isinya. 





Tidak ada komentar: