14 Januari, 2024

REVIEW: MONSTER (2023) - HIROKAZU KORE-EDA



BRILIAN adalah kata yang sangat layak ditautkan dengan karya terbaru Hirokazu Kore-eda, Monster (2023). Sebelum menonton ini, saya bilang ini adalah film yang mengawali perjalanan mencintai sinema saya di 2024. Ekspektasi tinggi terhadap film ini sangat sulit dikontrol. Dan hasilnya? Sesuai ekspektasi. Menggunakan Rashomon Effect dalam penceritaannya, naskahnya berhasil mengurai setiap isunya dengan sangat baik. Berbagai isu seperti pencitraan diri, perundungan anak, keluarga disfungsional, hingga ke persoalan gender muncul sebagai substansi yang layak diperbincangkan. Sang penulis naskah tidak ragu untuk menyebarkan isu-isu yang kompleks ini dengan rapi dan halus, tanpa harus pretensius dan ndakik-ndakik. Sebagai informasi, Monster (2023) yang ditulis oleh Yuji Sakamoto ini berhasil menyabet gelar Best Screenplay atau Naskah Terbaik di Cannes Film Festival 2023, Mei lalu. Sebuah validasi yang sangat pantas disematkan kepada film ini.

Cerita dimulai dari perspektif seorang ibu, Saori Mugino (Sakura Ando), yang menyaksikan anaknya, Minato Mugino (Soya Kurokawa), bertingkah laku aneh secara tiba-tiba. Keanehan Minato tampak dari ucapan dan perilaku yang membuat kita semua mengernyitkan dahi. Seperti misalnya, dia bertanya soal otak manusia dan otak babi, kemudian memotong rambut, dan lain sebagainya. Keanehan tersebut membuat Saori penasaran dengan apa yang dialami anaknya. Suatu ketika, anaknya mengaku bahwa ia adalah korban perundungan oleh guru di sekolahnya, Hori (Eita Nagayama). Pengakuan itu tentu saja membuat Saori merasa perlu untuk klarifikasi di sekolah. Akan tetapi, yang terjadi setelahnya lebih kompleks daripada ini. Seperti yang disampaikan sebelumnya, ada banyak isu kompleks yang membungkus ceritanya. 


Mengadaptasi formula Rashomon Effect, film ini mengurai suatu peristiwa inti dalam film menjadi 3 perspektif yang tersebar di masing-masing babak. Perspektif yang digunakan adalah perspektif dari 3 karakter yang terlibat dengan peristiwa itu. Yakni, 1) Saori, sebagai seorang ibu dari Minato, 2) Hori, seorang guru yang diduga terlibat dengan peristiwa perundungan tersebut, dan 3) Minato, seorang anak yang menjadi tokoh sentral yang menjadi pusat dari peristiwa ini. Inilah yang membuat Monster (2023) menjadi sajian film yang menarik. Butuh ketelitian ekstra dari sang penulis dan itu berhasil ia tuntaskan dengan baik. Naskahnya benar-benar rapi, baik dari pengaturan alur sampai ke pengembangan karakter. Sangat baik.

Ketika saya menonton babak pertama film (pov Saori), pengalaman saya tidak enak. Kenapa? Karena gelagat semua karakter di film ini sangat aneh. Mulai dari Minato, sampai ke guru dan kepala sekolah. Aneh semuanya. Ada satu adegan yang menurut saya cukup menegangkan dan membuat emosi, yakni pada saat Saori meminta pertanggungjawaban sekolah di ruang kepala sekolah. Di dalam adegan tersebut, ada permintaan maaf yang diucapkan berkali-kali, tapi dengan ekspresi wajah yang datar. Adegan ini membuat saya ingin menghantam layar saking emosinya. Sebuah suspense yang benar-benar menguras emosi. Ketika memasuki babak kedua, banyak petunjuk yang mulai dikeluarkan Di babak ini, giliran Hori yang menjadi pusat cerita yang kemudian di babak ketiga peristiwa tersebut diulang lagi dari kacamata Minato.


Kore-eda sangat piawai menyematkan isu-isu kompleks dan relevan di zaman ini. Monster (2023) menjadi lebih mengagumkan karena Kore-eda berhasil memaksimalkan pesannya lewat 2 karakter anak-anak, Minato dan Yori Hoshikawa (Hinata Hiiragi), yang mengampu peran sentral. Keduanya besar dari kondisi yang tidak mengenakkan. Selain permasalahan di sekolah, masing-masing dari mereka diasuh oleh single parent. Minato adalah seorang fatherless, sedangkan Yori sudah lama tidak bertemu ibunya. Yori mengampu beban hidup yang lebih tinggi karena ia mengalami KDRT dari ayahnya. Perlakuan ayahnya yang kasar itu sangat mempengaruhi perilakunya sehari-hari. Belum lagi, penghakiman dari orang-orang di sekitarnya.


Mirip seperti Close (2022), Monster (2023) menyoroti betapa menyakitkannya penghakiman berdasarkan gender atau toxic masculinity di masyarakat yang bisa dengan kuat memberikan pengaruh pada anak-anak. Minato dan Yori terpaksa menghadapi gelombang stigma dari teman-temannya, guru, bahkan orang tuanya. Berbagai pengalaman buruk turut mengantarkan mereka pada sebuah titik yang dianggap "abnormal" atau "monster" di masyarakat. Ini memang sebuah film yang memotret orientasi seksual yang kerap dianggap aneh, bahkan dianggap menyimpang. Namun, dengan kecerdasan dan kepiawaiannya, Kore-eda berhasil membingkai isu ini melalui pengembangan karakter yang realistis. Dengan latar belakang Yori yang mengalami kekerasan di rumahnya, bahkan dilakukan oleh ayahnya, rasanya tidak mungkin Yori tidak ingin melepas stigma-stigma yang menempel padanya. Ia ingin merdeka sepenuhnya. 

Karena kemiripan kondisi, Minato dan Yori pelan-pelan membangun kedekatan. Hubungan Minato-Yori mengingatkan saya dengan Léo-Rémi di film Close (2022) dir. Lukas Dhont. Jika Léo-Rémi mengantarkan kita pada perpisahan, Minato-Yori sebaliknya. Kore-eda dengan cerdik memaksa penonton untuk mengharapkan banyak kebahagiaan menghampiri mereka lewat simbol dan sinematografi yang hangat. Dan ini terjadi setiap kali mereka muncul dalam 1 frame, terkhusus pada saat mereka sedang bersama di luar sekolah. Kehangatan demi kehangatan mulai luwes memeluk keduanya pelan-pelan. Dari keseluruhan film, ini adalah bagian terbaiknya, sebab bagian ini banyak diisi emosi-emosi positif, bukan yang negatif.


Keistimewaan lain dari Monster (2023) adalah kelugasan dan ketajaman Kore-eda dalam menampilkan metafora, seperti 'otak babi' yang mewakili definisi dari penyakit, kemudian ada simbol bunga Primrose, yang merupakan bahasa cinta yang menolak perpisahan, lalu ada bagan perkawinan silang dalam biologi, dan lain sebagainya. Ada banyak sekali simbol-simbol tersirat yang mewakili pesan yang ingin disampaikan Kore-eda. Soal semiotika dan metafora, Monster (2023) adalah yang terbaik di tahun 2023. Simbolnya benar-benar menghiasi adegan di sepanjang durasi film ini dengan halus, tanpa ada paksaan.

Dengan demikian, film Monster (2023) mencoba mengkritik segala prasangka kita terhadap semua hal. Di awal film ini hadir dengan segala ambiguitasnya. Penonton diantarkan pada kondisi bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Berangkat dari kondisi tersebut, Kore-eda berhasil membanting asumsi penonton dengan berbagai twist yang seketika mengubah semua perspektif itu. Selain melalui plot, Monster (2023) juga berkeyakinan bahwa masing-masing dari kita juga sering menjelma 'monster' di kehidupan orang lain, begitu juga sebaliknya. Pada akhirnya, Kore-eda berhasil memuaskan penonton lewat karya terbarunya ini. Lewat naskah yang brilian dan ending yang sangat memukau, Kore-eda berhasil memaksa saya untuk memilih Monster (2023) sebagai film terbaik saya di 2023.


Tidak ada komentar: