02 Desember, 2023

REVIEW: JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM (2023) - YANDY LAURENS



CERDAS. Itulah kesan yang pertama kali muncul sesaat setelah keluar ruangan teater. Yandy Laurens mengejutkan penonton dengan gaya penulisan naskah yang baru sekaligus brilian. Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film (2023) menggunakan konsep meta dan hitam putih untuk perfilman Indonesia. Ini merupakan sesuatu yang baru, kreatif, dan juga segar untuk semua penonton yang sudah gerah dengan keklisean cerita yang begitu-begitu saja. Film ini adalah bentuk surat cinta yang paling dalam dari Yandy Laurens untuk sinema, khususnya sinema Indonesia.

Saya tidak pernah menonton film secerdas ini, seberani ini, sebeda ini, sekreatif ini, segila ini, seunik ini, dan sepersonal ini, bukan saja di kancah perfilman Indonesia, melainkan di internasional. Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film (2023) menawarkan kesegaran dan kreativitas yang mengejutkan kita semua. Di film ini, Yandy Laurens sangat tahu apa yang ia ingin ceritakan. Ia tahu persis apa yang kira-kira bisa dinikmati para penikmat film secara umum, tanpa harus melupakan penonton kasual. Meski penonton akan diberikan berbagai jenis satir, inside jokes, serta keresahan-keresahan yang dekat dengan kancah perfilman Indonesia, Yandy tetap mampu mendesain semuanya dengan segar melalui konsep meta ini. Kesegaran konsep ini akan membawa kebahagiaan maksimal kepada para penonton, baik cinephile film-film lokal secara umum maupun penonton kasual.


Sejak adegan pembuka, film ini menunjukkan kejujuran yang begitu terasa melalui pilihan teknis yang Yandy ambil. Adegan pembuka tersebut menaruh sang karakter utama, Bagus Rahmat (Ringgo Agus Rahman), yang diceritakan sebagai penulis naskah, yang sedang menpresentasikan naskahnya di depan produsernya, Yoram (Alex Abbad). Selanjutnya, pada saat Bagus sudah memasuki cerita yang ia tulis, ada perubahan rasio yang semula sempit berubah menjadi wide dan color grading yang semula berwarna menjadi hitam putih. Pilihan teknis yang cukup berani ini adalah sebuah alat yang digunakan Yandy untuk menguatkan cerita, bahwa pudarnya warna dan melebarnya rasio akan memfokuskan perhatian kita terhadap karakter, tetapi di sisi lain perspektif kita terhadap mereka berubah menjadi lebih luas. Dalam adegan yang berjalan kurang lebih 20 menit ini memunculkan show, don't tell yang brilian.

Yandy menciptakan dunia meta melalui 'film dalam film' yang naskahnya ditulis oleh pemeran utamanya, Bagus Rahmat selama melakukan negosiasi dengan calon produser, Pak Yoram. Ya, film ini menggunakan perspektif dari karakter Bagus yang berusaha 'memvisualisasikan' naskah hasil tulisannya ke dalam bentuk film. Naskah filmnya bercerita tentang seorang penulis naskah, yakni Bagus sendiri, yang ingin menuangkan perasaan cintanya kepada teman masa sekolahnya, Hana (Nirina Zubir), melalui sebuah karya film. Selama bagian ini, ada banyak sindiran, sentilan, dan inside jokes yang membuat saya beberapa kali terpingkal. Lelucon-lelucon seperti: film art vs komersial, kehebohan adegan, subtitle lebah ganteng, keraguan terhadap konsep film hitam putih, skeptisisme terhadap romance dewasa, lelucon film-film reborn, film-film remake, kecenderungan produser terhadap genre horror, gimmick marketing, dan lain-lain. Mungkin lelucon-lelucon ini terlihat jauh, namun sebenernya dekat dengan kita semua, terutama penonton reguler film-film Indonesia. Inilah sebabnya saya sebut ini karya personal seorang Yandy Laurens.


Dalam naskah yang ditulis Yandy, diceritakan bahwa Hana sedang dalam masa berduka sejak suaminya meninggal 3 bulan yang lalu. Peristiwa ini kemudian dimanfaatkan Bagus untuk melakukan pendekatan dengan Hana. Bagus memiliki waktu satu tahun untuk membuat misi ini sukses, yakni membuat film tentang Hana dan dirinya. Namun, kenyataannya tidak semudah itu. Hana masih belum bisa menerima kepergian suaminya. Inilah yang berusaha dikulik Bagus untuk melengkapi naskah film yang akan ia tulis. Akan tetapi, pada saat kita mulai mengikuti perjalanan Bagus, ternyata ini bukan hanya sekadar naskah film. Ini adalah perasaan nyata Bagus terhadap Hana. Bagus berharap ini akan menjadi hadiah yang manis untuk Hana. Jadi, bisa disimpulkan film ini merupakan karya personal Yandy Laurens yang di dalamnya terdapat karya yang juga merupakan karya personal milik sang karakter utama, Bagus Rahmat.

Selain konsep meta 'film dalam film', berbagai konsep meta yang lain dalam film ini muncul, seperti misalnya Sheila Dara yang memerankan Celine, kemudian Dion Wiyoko yang memerankan dirinya sendiri, namun dengan modifikasi, yakni menjadi suami dari Celine. Jika diperhatikan, kedua nama tersebut akan membentuk nama Celine Dion. Kemudian keunikan kedua adalah, selain Dion yang memerankan dirinya sendiri, Julie Estelle juga memerankan dirinya sendiri di filmnya Yandy. Namun, nanti di tengah-tengah film, masing-masing dari mereka berdua memerankan karakter Bagus dan Hana untuk naskah film yang ditulis Bagus. Entah apakah saya bisa mendeskripsikannya dengan benar. Akan tetapi, semua konsep ini tertata dengan sangat baik, minim cela, dan mampu mengantarkan komedi yang natural, yang tentunya bisa membuat satu ruangan merasakan kebahagiaan yang tiada tara.


Dari departemen acting, Ringgo Agus Rahman memiliki tugas berat untuk menghidupkan karakter Bagus. Bisa dibilang karakter Bagus memiliki spektrum yang sangat kompleks. Ego, kreativitas, dan moralitas adalah tiga hal yang saling bertarung dan berkecamuk di dalam dirinya. Di awal film, Bagus adalah seorang penulis naskah yang hanya peduli pada egonya. Melalui naskah yang Bagas tulis ini, terdapat egoisme yang besar, yakni mengungkapkan perasaan cintanya terhadap Hana yang bahkan belum bisa melepaskan suaminya. Kemudian, Ringgo menuntun karakter Bagus ke puncak kreativitasnya, yakni ketika ia mulai dihadapkan pada deadline. Sedangkan, moralitas dan kepekaannya kemudian dipertanyakan oleh Celine dan Hana, sebagai karakter yang menempatkan diri sebagai korban dari ego Bagus. Selain Ringgo, Nirina juga tak kalah bagusnya, binar matanya mampu memberikan emosi yang kuat untuk dirasakan penonton. Ada banyak close up shot yang menyoroti kedua mata Nirina. Di sinilah titik yang membawa Nirina ke salah satu penampilan terbaik sepanjang karirnya.


Secara pengemasan, film ini 80% terdiri dari gambar hitam putih, bukan untuk menunjukkan gaya-gaya khas seorang sutradara, bukan sama sekali. Alasan Yandy menggunakan hitam putih nanti bisa ditemui dalam filmnya sendiri. Selain itu, film ini dengan gamblang membagi keseluruhan naskahnya menjadi 8 sequences dengan penjelasan yang gamblang pula. Jadi, selain mendapatkan rekreasi, penonton juga mendapatkan edukasi gratis dari sang sutradara terkait pembagian naskah. Gokil. 

Saya punya beberapa adegan yang mungkin akan sulit untuk diulang lagi di film-film lain. Salah satunya adalah adegan Bagus, Dion, dan Celine mencegah Hana yang memutuskan pindah menggunakan motor tossa. Saya tidak ragu untuk bilang adegan ini menjadi salah satu adegan terbaik yang pernah ada di film Indonesia. Berbagai shot indah menghiasi keseluruhan adegan ini. Melalui narasi yang dilisankan oleh Celine (Sheila Dara), adegan ini memanggil banyak sekali referensi-referensi film lain yang bergenre romantic comedy. Saya tidak ingin lebih banyak menjelaskan adegan ini, karena INILAH SINEMA. Nikmati sendiri dan rasakan sensasinya. Yang jelas, tidak ada kata-kata yang mendeskripsikan film ini dengan baik. Saya juga suka dengan keberadaan lagu Anything You Want karya Reality Club yang mampu memberikan sebagian cahaya dan warna untuk melengkapi tubuh Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film (2023) yang hitam putih. Kesimpulannya, ini film Indonesia terbaik tahun ini. Mari rayakan sebuah kisah cinta terhadap sinema Indonesia yang tak akan lekang oleh waktu.





Tidak ada komentar: