01 Desember, 2023

REVIEW: WOMEN FROM ROTE ISLAND (2023) - JEREMIAS NYANGOEN



TRIGGER WARNING: RAPE, SEXUAL VIOLENCE

MENUSUK. Satu kata yang tepat untuk menggambarkan film ini. Peraih 4 Piala Citra FFI 2023 ini mampu tampil brilian secara teknis. Sajian sinematografi dan scoring yang brilian mampu menghasilkan kontras yang kuat. Dengan mengambil setting di Pulau Rote, keuntungan visual jelas akan didapatkan melalui penampakan alam yang indah. Tak dapat dipungkiri bahwa alam Pulau Rote memang sangat mengagumkan. Namun, keindahan alam tersebut tidak dapat membungkus rapi suburnya pertumbuhan patriarkisme dan kekerasan berbasis gender di Pulau Rote. Itulah mengapa film ini begitu menusuk bagi saya.

Sebagai tambahan informasi, ini adalah penampilan pertama semua aktor yang terlibat mulai dari Linda Adoe, Irma Rihi, Keziallum Ratu Ke, dan lain-lain. Yes, mereka bukanlah aktor profesional yang siap bekerja sesuai profesi aktor. Tidak sama sekali. Itulah yang membuat film ini terasa spesial sehingga tak heran apabila film ini meraih banyak penghargaan di Festival Film Indonesia tahun ini.


Film ini memiliki premis yakni seorang perempuan bernama Orpa (Linda Adoe), yang sedang berduka dan sedang menjalani adat pemakaman suaminya. Di tengah-tengah pelaksanaan adat tersebut, hatinya dipenuhi kegundahan sebab ia harus memenuhi wasiat suaminya, yakni menunggu anaknya, Martha (Irma Rihi) pulang sebelum sang suami dimakamkan. Namun, hingga beberapa hari, Martha tak kunjung pulang. Orpa pun makin dilanda dilema sebab adat tidak membolehkan jasad suaminya dibiarkan terlalu lama. Dari sinilah kepercayaan tetangga-tetangganya mulai pudar. Namun, pada akhirnya, Martha berhasil tiba dari perantauannya dalam keadaan jiwa yang terganggu. Singkat cerita, makin hari perilakunya makin aneh, seperti halusinasi, terobsesi dengan burung Kolibri, dan lain-lain. Orpa, sebagai ibu, tentu khawatir dengan keadaan anaknya tersebut, di sisi lain, ia harus menjaga dan menghidupi kedua anaknya, Martha dan Bertha (Keziallum Ratu Ke). Masalah tak berhenti di sini, satu per satu masalah datang menghampiri mereka. Pertanyaannya, bagaimana Ibu Orpa mengendalikan dan menyelesaikan masalah-masalah itu?


Di babak pengenalan konflik, sesuatu yang spesial mulai saya rasakan dari aspek sinematografi dan scoringnya. Jeremias dengan lembut dan pelan mengajak penonton mengenal karakter, adat, dan kearifan lokal masyarakat Pulau Rote melalui angle dan pergerakan kamera yang mengagumkan. Didukung aspek penataan suara yang mumpuni, magisnya kondisi alam dan kearifan lokal masyarakat Rote tersebut mampu dirasakan dengan baik oleh penonton. Kelebihan dua aspek ini sedikit mengingatkan saya pada adegan pengenalan suku Osage di film Killers of the Flower Moon (2023) arahan Martin Scorsese yang sama-sama menunjukkan kearifan lokal sebuah suku melalui penataan suara dan sinematografi. Dalam babak ini, Linda Adoe berpengaruh besar terhadap grafik emosi yang tersebar di semua adegan. Bisa dibilang, Linda Adoe-lah yang menjadi nyawa dari babak ini.

Pada saat film ini mulai memasuki konflik utama, elemen suspense sedikit demi sedikit mulai meningkat. Sebelumnya, saya tidak mengira film ini akan membawa penonton ke arah suspense, sebab film ini memang tidak dipasarkan sebagai sebuah sajian suspense. Jadi, setelah penonton diajak untuk menikmati berbagai pengenalan yang disediakan di babak pertama film, secara tiba-tiba penonton dihadapkan pada rangkaian peristiwa brutal yang benar-benar menakutkan. Di babak sebelumnya, memang ada sedikit pengenalan terkait perilaku-perilaku mesum yang dilakukan oleh beberapa laki-laki. Namun, ternyata itu hanyalah sebutir pasir di tengah-tengah pantai, alias tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kebrutalan yang terjadi di babak ini. 


Adapun elemen suspense yang dibangun melalui sinematografi dan scoringnya sangat efektif memberikan rasa takut, marah, tidak nyaman, kecewa, sekaligus traumatis. Bagaimana tidak? Beberapa perilaku biadab tersebut ditampilkan secara eksplisit dengan intensitas yang konsisten, yakni secara perlahan dan sabar menjaga tempo, khas seperti teknik suspense di film-film lain. Sebagai laki-laki, hati saya terenyuh ketika adegan-adegan kekerasan seksual tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berjenis kelamin sama dengan saya. Saya yakin ada amarah yang luar biasa besar di benak saya maupun penonton di sepanjang babak ini. Rembesan air mata yang deras dan tempo napas yang tidak teratur agaknya menjadi reaksi yang wajar dialami oleh kami semua, sebab kekerasan seksual merupakan bentuk kebiadaban yang menodai nilai-nilai kemanusiaan di masyarakat.

Irma Rihi sangat pantas disorot atas kehebatannya memerankan karakter Martha di film ini, terkhusus di babak konflik ini. Martha adalah karakter yang dipenuhi trauma dan kondisi psikis yang luar biasa menyakitkan. Namun, di sisi lain ada sebuah berkas cahaya bersembunyi di balik kesakitannya. Cahaya itu muncul setiap kali Martha melihat dan terobsesi dengan seeokor burung Kolibri. Perilaku aneh Martha ini tentu bukan suatu kebetulan. Ini adalah simbol koneksi yang tercipta di antara Martha dan burung Kolibri sebagai makhluk yang sama-sama sedang terisolasi dari kehidupannya masing-masing. Jika sang burung terisolasi karena adanya kandang, Martha terisolasi karena pandangan masyarakat setempat, kekerasan yang ia alami, atau bahkan ia terisolasi karena pandangan sempit kita sebagai penonton terhadapnya. Tentu ini sebuah bentuk cinta dari sang filmmaker terhadap simbol-simbol yang ada pada sebuah film.

Memasuki babak akhir, sang sutradara tidak melupakan misinya. Lampu yang kita harapkan dari para perempuan di film ini akhirnya menyala terang. Orpa (Linda Adoe) adalah komandan yang mengawal pasukan perempuan Rote di film ini. Adegan penangkapan si pelaku kekerasan boleh jadi adalah counter attack pertama yang berhasil dieksekusi oleh Orpa, dkk. Salah satu adegan favorit saya adalah ketika si pelaku terpaksa merasakan sesuatu yang menyakitkan di kemaluannya. Mereka melakukannya tidak dengan benda tajam, apalagi kekerasan. Jeremias tak memerlukan sesuatu yang kejam untuk menunjukkan kekuatan perempuan-perempuan ini. Setelah penonton bertubi-tubi ditusuk, pada adegan tersebut, penonton diberi kesempatan tertawa sepuas-puasnya. Adegan sederhana ini berhasil memberikan kemenangan kecil untuk penonton dan kita semua yang memperjuangkan perlawanan terhadap patriarkisme dan perilaku kekerasan seksual.


Secara keseluruhan, film ini adalah sajian kombinasi seni peran, sinematografi, dan scoring yang luar biasa bagus. Tak hanya menjual keindahan alam Pulau Rote, Jeremias berhasil mengawinkan keindahan alam tersebut dengan kisah yang mengerikan dan menjadikannya wujud kontras yang kuat. Misi perlawanan kekerasan seksual cukup tampak di sini. Saya juga sangat mengapresiasi dedikasi dari semua orang-orang yang terlibat dalam proyek ini, terutama para aktor, yang notabene tidak menjalani profesi aktor. Film ini diisi oleh orang-orang hebat yang memiliki rasa cinta yang dalam terhadap film dan tempat tinggalnya, Pulau Rote.







Tidak ada komentar: