16 November, 2023

REVIEW: BUDI PEKERTI (2023) - WREGAS BHANUTEJA



AMBIGUITAS. Nilai yang masih dijaga Wregas Bhanuteja dalam pembuatan film-filmnya. Menolak narasi siapa yang benar dan siapa yang salah, menolak keberpihakan absolut pada protagonis dan mencegah kesan pemikiran oposisi biner muncul dalam ceritanya. Semua nilai-nilai itu ada dalam Penyalin Cahaya (2021) dan Budi Pekerti (2023). Nilai-nilai tadi selaras dengan kemajuan zaman seperti sekarang ini, di mana kebenaran absolut sudah usang. Ini adalah zaman yang dipenuhi ambiguitas, ketika kebenaran saling bersikut dan gontok-gontokan dalam pertarungan "siapa yang paling keras" dan "siapa yang paling banyak bicara". Itulah Budi Pekerti (2023), sebuah karya apik yang mendefinisikan semua nilai-nilai itu dalam bentuk yang ringan dan segar.


Menceritakan kiprah Prani Siswoyo yang merupakan guru BK di sebuah sekolah di Yogyakarta. Prani Siswoyo (Sha Ine Febriyanti) adalah guru BK kreatif. Ia tidak suka menghukum muridnya. Alih-alih menghukum, ia memakai teknik "refleksi". Salah satu contohnya ketika ada muridnya yang melakukan perundungan verbal, Bu Prani akan mengembalikan kata-kata tersebut untuk didengarkan oleh muridnya sebagai sebuah refleksi.


Kehidupan Bu Prani di awal terlihat normal seperti keluarga pada umumnya. Prani punya dua anak: Tita (Prilly Latuconsina) yang tampil datar tapi keras dalam bermusik, dan adiknya, Muklas (Angga Yunanda) yang tampil nyentrik sebagai influencer bergelar Animalus yang banyak memberikan tips healing ala binatang. Suaminya, Didit (Dwi Sasono), menderita bipolar pasca kegagalan bisnis yang ia jalani selama pandemi.


Masalah dalam keluarga Prani muncul ketika video Prani marah-marah di hadapan penjual putu legendaris viral di media sosial. Prani tertangkap kamera berteriak "asui" (anjing lah). Prani merasa tak mengucapkan kata itu, ia mengucapkan "ah suwi" (ah lama). Warganet tidak peduli, mereka sudah kadung berprasangka atau bahkan memukul Prani.



Ketika menyaksikan babak pertama filmnya, Budi Pekerti (2023) tampak dominan menyorot kebiasaan masyarakat yang gemar menggunakan gawai seperti layaknya pistol. Ya, gawai, sama seperti pistol, baik buruk keduanya dipengaruhi oleh siapa yang memegangnya pada saat itu. Masalah Prani dan keluarganya bertubi-tubi muncul dari alat itu, bahkan tak hanya dari warganet,  keluarga Prani yang berusaha meluruskan kesalahpahaman tersebut justru melahirkan efek yang lebih masif lagi. Dilema. Itu yang dirasakan Prani dan keluarganya.


Memasuki babak kedua, warna film ini berubah. Alih-alih fokus pada pembersihan keluarga Prani, Wregas memilih koneksi antar anggota keluarga dan koneksi Guru–Murid sebagai ujung tombak. Dan, hasilnya sungguh luar biasa. Di babak ini, Wregas menciptakan ikatan yang kuat antara penonton dengan Prani. Semua adegan yang melibatkan Prani memakai earplug adalah senjatanya. Pada adegan inilah, penonton akan mengenal Prani jauh lebih dalam.



Film ini punya akhir yang sangat kuat, dengan gubahan musik Gardika Gigih, Wregas berhasil mengunci ekspresi para penonton untuk ikut merasakan getaran emosi yang hebat. Getaran hebat yang muncul dari adegan sederhana, memakan bakso pinggir jalan sebagai simbol sederhana untuk menggambarkan komunikasi antar anggota keluarga yang hambar dan datar, namun di sisi lain penuh kasih sayang. Kemudian adegan tersebut disambut dengan adegan mobil pickup dan sepeda motor mereka yang menyeberangi jembatan. Adegan ini adalah sebuah tanda bahwa keluarga Prani siap menyeberang dan menjalani transisi menuju kehidupan yang baru setelah kehidupan sebelumnya luluh lantah dihancurkan kesemuan dunia maya.


Untuk informasi, film ini berhasil meraih 17 nominasi di Festival Film Indonesia 2023 dan meraih 2 piala, yakni Pemeran Utama Wanita Terbaik: Sha Ine Febriyanti sebagai Bu Prani dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik: Prilly Latuconsina sebagai Tita. Dua penghargaan yang sangat pantas mengingat penampilan keduanya yang luar biasa mengagumkan, terutama untuk Prilly Latuconsina, yang akhirnya mencapai potensi maksimal setelah keluar dari zona nyaman. 



Apa yang ditampilkan Wregas di film ini benar-benar luar biasa. Selain aroma ambiguitas yang kental. Wregas juga berhasil memotret wujud pendidikan yang baik. Budi Pekerti, judul yang Wregas pilih, bermodalkan kecintaan yang dalam terhadap pendidikan di Indonesia. Air mata saya terpaksa turun ketika Prani melakukan 'refleksi' untuk dirinya sendiri melalui earplug, dengan pengulangan kata-kata seperti: bodoh, goblok, tolol, pethuk, ubur-ubur, atau pada saat salah satu muridnya menunjukkan kekuatan metode Prani untuk membentuk kepribadian mereka. Itulah fungsi pendidikan, menciptakan koneksi yang kuat antara pendidik dengan yang dididik, tidak hanya sekadar mengajarkan sesuatu, tapi juga dapat dengan nyaman merefleksikan banyak hal sebagai sebuah bentuk pengajaran.




Tidak ada komentar: