05 Agustus, 2024

REVIEW: KABUT BERDURI (2024) - EDWIN




MENYEGARKAN. Setidaknya itu yang bisa saya gambarkan ketika mengetahui premis film ini. Ya, Kabut Berduri (2024) hadir sebagai salah satu sajian crime-mystery terbaru dari Indonesia—genre crime-mystery di Indonesia masih sangat jarang—yang diproduksi Netflix. Edwin, salah satu sutradara dengan filmografi terbaik, didapuk sebagai nakhoda kreatif film ini. Sementara, nama-nama seperti Putri Marino, Yoga Pratama, Lukman Sardi, Yusuf Mahardika, Nicholas Saputra, Kiki Narendra, dan beberapa aktor lain turut meramaikan jajaran cast. Dengan sumber daya mumpuni ini, Edwin setidaknya berhasil menyajikan Kabut Berduri sebagai salah satu film yang bisa diperhitungkan tahun ini, terutama jika kita melihat genre dan premis cerita yang diusung, karena selain menyegarkan, film ini juga diproduksi dengan layak dan serius.

Kabut Berduri (2024) merupakan salah satu karya yang langka di perfilman Indonesia. Bagaimana tidak? Film ini menampilkan seorang detektif perempuan bernama Sanja (Putri Marino), yang ditugaskan untuk menemukan terduga serial killer di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Ya, serial killer, tema yang sangat langka di Indonesia. Menariknya, pengambilan setting di perbatasan Indonesia-Malaysia terjadi bukan tanpa alasan, Edwin sengaja mengambil peristiwa sejarah pasca '65 sebagai pondasi ceritanya yang juga diceritakan di awal film melalui pengantar sebelum adegan pembuka. Selain unsur sejarah yang sengaja diambil sebagai pondasi, Edwin juga mengambil unsur supranatural untuk melengkapi misteri. Erwin tahu betul Borneo memiliki banyak kearifan lokal yang bisa dieksplorasi dan di film ini, ia memanfaatkannya dengan baik.


Film ini sangat menjanjikan dari detik pertama. Suasana sesak, kelam, serta suram sangat bisa dirasakan penonton. Wilayah perbatasan yang asing, yang hanya dipenuhi hutan, tidak banyak pemukiman yang berdiri di sana, ditambah dengan tebalnya kabut yang mengitari wilayah itu, membuat perasaan sesak tersebut makin menguat. Edwin sangat piawai mengeksekusi adegan pembuka dari film ini, terlihat dari cara Edwin memperkenalkan korban pertama. Jasad yang ditemukan adalah bagian kepala seorang polisi dengan badan yang ternyata milik orang lain. Segala kengerian ini berhasil menciptakan suspense yang efektif untuk penonton. Tak ayal saya berani menyebut adegan pembuka Kabut Berduri (2024) sebagai salah satu adegan pembuka terbaik sepanjang sejarah film Indonesia.

Berbekal adegan pembuka yang kuat, Edwin sadar ia memiliki keleluasaan untuk merancang pengembangan ceritanya dengan baik, baik dari sisi karakter maupun plot. Sanja (Putri Marino) dihadirkan sebagai representasi orang-orang urban dengan tata rias dan wardrobe yang sederhana. Penampilannya sangat meyakinkan sebagai seorang detektif yang datang dari ibukota. Sementara rekannya, Thomas (Yoga Pratama) digambarkan dengan pakaian dan rambut yang rapi, tetapi karena ia merupakan penduduk asli wilayah tersebut, gestur yang diperlihatkan pun menyesuaikan, termasuk di antaranya sikap dan cara berbicara yang lebih lembut. Dari sisi plot, Edwin pun piawai membangun intensitas khas film-film detektif. Korban kedua, korban ketiga, yang diiringi penemuan petunjuk-petunjuk oleh Sanja dan Thomas berhasil ditunjukkan dengan baik oleh Edwin. Eksplorasi ceritanya juga cukup luas, sang sutradara berani memasukkan konflik masyarakat adat dengan aparat, perdagangan manusia dan anak-anak, kepercayaan masyarakat setempat terhadap "hantu komunis", hingga maraknya tindakan gratifikasi dan korupsi yang sering menjadi benalu untuk kasus-kasus pembunuhan yang hingga kini belum terselesaikan.


Perpaduan segala jenis masalah struktural seperti di atas menjadi tantangan yang sangat berat untuk Edwin. Belum lagi, beban masa lalu Sanja—yang juga berkaitan dengan masalah struktural di atas—juga turut membuat semua kegiatan penyelidikan kasus pembunuhan berantai ini menjadi lebih rumit. Pergulatan moral dengan rasa bersalah Sanja membuatnya merasa perlu untuk menyelesaikan kasus ini secepatnya. Di sisi lain, partner kerja Sanja, Thomas juga memiliki beban moral yang tinggi sebab profesi polisi dianggap 'kotor' oleh orang-orang sekitar, sedangkan Thomas memilih polisi sebagai jalan untuk membantu masyarakat setempat. Semua permasalahan ini berhasil dibungkus dengan baik oleh Edwin dari awal film hingga pertengahan film. Perasaan takut tapi penasaran sanggup menghinggapi benak penonton. Kehadiran "Ambong" sebagai suatu kepercayaan supranatural ditambah dengan penataan sinematografi dan suara yang menyesakkan turut menambah keseruan permainan ini. Otak penonton diantar ke kumpulan permasalahan kompleks sambil berupaya menebak "siapa pembunuhnya?", sementara benaknya dipenuhi rasa takut akan kemunculan Ambong, yang bisa jadi merupakan pelakunya.

Setelah melalui babak 1 yang hampir sempurna, film ini mulai kehilangan arah di babak kedua. Banyaknya konflik yang diangkat akhirnya meminta tumbal. Plot yang sudah dibangun dengan baik di awal terpaksa digugurkan oleh Edwin. Edwin kebingungan menentukan subplot mana yang harus menjadi prioritas. Ini kesalahan yang cukup fatal, sebab cerita di film ini menjadi tidak fokus ke pokok permasalahan utama. Korban-korban yang sudah ditunjukkan sejak adegan pembuka hingga babak kedua ini menjadi sia-sia dan tak membantu apa-apa. Minimnya latar belakang dari korban-korban tersebut membuat penonton tidak bisa berempati sepenuhnya. Satu-satunya motivasi yang tersisa adalah pertanyaan "siapa pelakunya?". Itu saja. Penyelidikan yang dilakukan dengan Sanja dan Thomas juga tidak menghasilkan apa-apa selain kumpulan petunjuk. Di babak ini, penonton malah dibawa ke kumpulan shot-shot yang sama sekali tidak membantu storytelling. Aspek editing yang lemah makin menjerumuskan babak ini makin dalam.  Penonton dipaksa berhenti berasumsi, tak ada pertanyaan yang bisa memancing penonton untuk tetap fokus terhadap ceritanya. 


Setelah melalui babak kedua yang memusingkan dan membosankan, Edwin mulai kembali ke tujuan utamanya di babak ketiga. Masing-masing karakter di film ini mulai menunjukkan orientasi dan motifnya. Berbagai twist juga menghiasi babak ini. Di sinilah, 'jawaban sementara' itu dibuka oleh Edwin. Salah satu adegan  memorable dalam babak ini adalah ketika 'jawaban sementara' itu terbuka dan akhirnya membawa sebuah konklusi yang cukup tajam terhadap salah satu permasalahan struktural di atas. Edwin sangat berhasil membangun intensitasnya di adegan ini sehingga mampu menciptakan sedikit rasa puas untuk penonton. Ya, hanya sedikit saja, sebab kesalahan fatal di babak kedualah yang membuat babak ketiga ini tidak terasa istimewa.

Di luar dari sedikit kelemahan yang cukup fatal,  salah satu aspek yang perlu diapresiasi adalah seni peran dari para aktornya yang hampir tiada cacat. Putri Marino sekali lagi membuktikan kelasnya. Hal yang sama juga ditampilkan oleh Yoga Pratama, yang terlihat sangat nyaman menggunakan dialek setempat. Selain itu, Kabut Berduri (2024) berhasil babat alas dengan menawarkan genre yang baru. Pembaruan terjadi hampir di semua aspek. Kesan noir, gelap, sesak, serta suram berhasil di-deliver dengan baik oleh Edwin. Penyegaran dari aspek latar juga perlu diapresiasi, baik dari latar sosial yang berani mengambil keresahan masyarakat adat, maupun latar tempat yang spesifik mengambil wilayah perbatasan. Oleh karena itu, saya juga mengapresiasi aspek production design yang terlihat sangat niat dan hampir tidak ada cacat.

Sejujurnya, saya sangat memimpikan kehadiran film lokal dengan genre dan tema yang menyegarkan seperti ini. Sajian crime-mystery yang dipadukan dengan elemen supranatural adalah sesuatu yang sangat baru di perfilman Indonesia. Tema dan genre tersebut mengingatkan saya ke True Detective, yang merupakan salah satu TV Show terbaik sepanjang masa. Aspek-aspek seperti penambahan elemen supranatural, subplot yang menggali rasa bersalah dan trauma sang karakter utama, hingga pemilihan latar yang spesifik menjadi hal yang menarik dari film ini. Bagi yang familiar dengan True Detective, Kabut Berduri (2024) sedikit berhasil mengobati kerinduan itu.


Salah satu yang menarik dari Kabut Berduri adalah aspek semiotika dan hubungannya dengan permasalahan struktural yang hinggap di masyarakat Dayak, khususnya di perbatasan Indonesia-Malaysia. Edwin sangat sering mengambil close up visual ikan Siluk Merah, yang memang hidup di daerah Kalimantan Barat. Siluk Merah sering dianggap sebagai tanda keberuntungan atau kekayaan bagi masyarakat. Edwin sengaja meletakkannya di dalam akuarium sebagai tanda bahwa kekayaan yang dimiliki masyarakat tidak bisa digunakan sepenuhnya sebab adanya permasalahan struktural yang menghiasi wilayah tersebut. 

Selain itu, ada simbol "Ambong" yang dipercaya sebagai satu makhluk mitologi yang menjaga kawasan hutan di wilayah itu. Ia beberapa kali disebut oleh Pak Bujang (Yudi Ahmad Tajudin), salah satu tetua di daerah tersebut, ketika Sanja dan Thomas melakukan wawancara. Pak Bujang juga merupakan salah satu orang yang ikut membasmi "hantu komunis" pasca tragedi '65 hingga masa pemerintahan orde baru selesai. Banyak yang percaya penumpasan ideologi tersebut terjadi bukan atas dasar keadilan, melainkan ketakutan. Jadi, apakah Pak Bujang adalah salah satu perwujudan dari sebuah ketakutan yang diciptakan? Atau bisa jadi "Ambong" bukanlah makhluk mitologi, melainkan simbol ketakutan yang dipelihara untuk mempengaruhi kondisi sosial kemasyarakatan di wilayah tersebut. Atau yang paling esktrem, apakah "Ambong" adalah sebuah ideologi yang menyebabkan semua permasalahan ini terus ada? Tidak ada yang tahu pasti apa jawabannya. 

Edwin menjaga rasa penasaran itu. Rangkaian adegan menuju adegan penutup menghasilkan banyak pertanyaan baru. Adegan kepala digantung dengan latar belakang patung salah satu tokoh bangsa dimasukkan bukan tanpa alasan. Edwin pasti menyiratkan sesuatu. Edwin memberikan kesempatan kepada penonton untuk mendiskusikan semua kemungkinan ini setelah film ini selesai. Selain itu, melalui adegan penutupnya, Edwin jberusaha memberitahu penonton bahwa semua yang terjadi di film ini belum benar-benar selesai. "Ambong" masih terus menghantui masyarakat. "Ambong" masih akan terus hinggap di kepala kita semua dan kita tak pernah tau siapa/apa "Ambong" itu sebenarnya.







Tidak ada komentar: