19 Maret, 2024

REVIEW: AMERICAN FICTION (2023) - CORD JEFFERSON



FUCK. Ini adalah salah satu karya yang menyenangkan untuk ditonton. American Fiction (2023) merupakan karya adaptasi yang cerdas. Film ini banyak mengambil keresahan dari orang-orang yang berkarir di penciptaan karya fiksi dan sastra, terutama novel. Cord Jefferson selaku sutradara sangat cerdik dan piawai memanfaatkan sensitivitasnya terhadap bau-bau menyengat yang hinggap di industri fiksi. Berbagai keresahan-keresahan tersebut dibungkus dengan cerdas lewat berbagai satir dan sindiran-sindiran tajam, sebuah cara klasik yang kerap digunakan seniman untuk mengkritisi sesuatu, dan cara ini berhasil dijalankan dengan baik oleh Cord Jefferson.

Cord mengawali naskahnya dengan premis sederhana, yakni tentang seorang penulis kulit hitam, Thelonious “Monk” Ellison (Jeffrey Wright), yang merasa resah dengan representasi orang-orang kulit hitam pada novel-novel yang sedang laku di pasaran pada saat itu. Ia tak menyukai penggambaran orang kulit hitam yang selalu dekat dengan kemiskinan, pelaku kriminal, atau hal-hal lain yang membuat mereka tampak lemah. Ia berpikir karya-karya seperti ini hanya akan memberi kepuasan ego orang-orang kulit putih atas tertindasnya black people di negaranya. Akan tetapi, dikarenakan idealismenya yang tinggi tersebut karirnya sebagai penulis hanya populer di kalangan akademisi saja, novel-novelnya tidak laku di pasaran.



Seperti yang dipaparkan di atas, film ini penuh dengan sindiran-sindiran menohok. Akan tetapi, saya tidak menyangka ketika sindiran-sindiran tersebut langsung muncul di adegan pertama filmnya, yakni ketika Monk, yang merupakan black people, sedang mengajar sejarah fiksi di kelas. Yang menarik di sini adalah ketika ada mahasiswi kulit putih merasa tersinggung ketika Monk menyebut N-Word. Apa yang ditampilkan Cord tersebut adalah fenomena wokeism yang sering dianggap hanya sebuah tren semata, bukan gerakan yang didasari hati, sehingga tampak berlebihan dan annoying di mata masyarakat, dan yang paling sering melakukan hal ini adalah orang-orang kulit putih. Di sini Monk merasa heran dan ia kurang bisa menerima interupsi mahasiswi tersebut. Nah, dari sini ia dianggap butuh istirahat dan karena ini, Monk diberikan cuti beberapa bulan.

Setelah premis itu dipaparkan dengan baik di awal film, Cord melanjutkan petualangannya dengan subkonflik-subkonflik baru. Selepas Monk diberikan cuti beberapa bulan, tentu ia tak mendapatkan penghasilan yang cukup ketika kembali ke keluarganya. Belum lagi permasalahan keluarga yang sejak awal sudah tidak baik-baik saja menambah masalah Monk. Mulai dari perselingkuhan ayahnya, kondisi kesehatan ibunya yang memiliki gejala Alzheimer, masalah saudara-saudaranya, dan masalah penghasilannya yang tertutup sementara. Dan di babak ini pula, saudara perempuannya, Lisa (Tracee Ellis Ross), meninggal tepat di depan Monk ketika keduanya sedang membangun kedekatan yang sebelumnya menghilang. Subplot keluarga ini dimanfaatkan dengan baik oleh Cord untuk menghidupkan karakter-karakternya, terutama Monk sendiri. Cerita berlanjut menuju subplot lainnya ketika Monk bertemu perempuan, Coraline (Erika Alexander), dan langsung tertarik dengannya. Hatinya makin terasa bahagia ketika Coraline juga menyukai karya-karya novelnya. Mereka membahasnya sebentar sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan.



Sejauh ini, apa yang ditampilkan Cord memang masih standar dan klise-klise saja. Tidak ada sesuatu yang spesial dalam plotnya. Namun, pandangan tersebut berubah ketika film memasuki bagian kedua, atau second act, yakni ketika Monk diminta untuk menulis novel baru, tetapi jenis novel yang akan ia tulis adalah jenis novel yang ia benci. Ia ditawari nilai penghasilan yang fantastis. Tawaran fantastis tersebut bukan tanpa permintaan simpel. Oleh temannya, Arthur (John Ortiz), ia tak hanya diminta menulis tentang black people dengan semua stigmanya, melainkan ia juga harus berpura-pura menyematkan semua stigma tersebut kepada dirinya. Mulai dari kriminal, aksen, takut sirine polisi, hingga mengganti namanya menjadi Stagg R. Leich. Tujuan dari ini adalah untuk meyakinkan penerbit bahwa penulisnya memang sesuai dengan target mereka, yaitu orang-orang yang dinilai akan membangkitkan wokeism palsu di kalangan kulit putih dengan segala kisah sedihnya.

Di sinilah, sisi pragmatis dan idealis seorang Monk bertarung. Tawaran fantastis ini tentu menggoyahkan idealismenya. Namun, pada akhirnya proyek ini ia kerjakan sembari merawat ibunya dengan gejala alzheimer yang makin parah. Setelah karyanya selesai dan dijual, tak lama kemudian ia juga diminta menjadi juri untuk ajang penghargaan sastra tahunan. Hingga pada akhirnya, karyanya laku di pasaran dan masuk menjadi salah satu kandidat pemenang karya sastra terbaik di ajang tersebut. Ini babak puncak, ketika semua kekacauan berkumpul menjadi satu. Secara personal, Monk sangat geli dan benci terhadap novel yang ia tulis, bahkan secara khusus dan sadar, ia meminta judul yang sebelumnya adalah My Pafology diubah menjadi Fuck atas dasar kemarahan. Akan tetapi, secara mengejutkan justru judul ini diterima oleh penerbit. Yes, "Fuck" mungkin dianggap sebagai kemarahan yang amat personal dari sang penulis, sehingga akan membuatnya makin laku di pasaran.

Proyek ini mengubah Monk dalam banyak hal. Seiring dengan kepura-puraannya atau ketidakjujurannya sepanjang ia mengerjakan novel tersebut, ia kehilangan dirinya sendiri. Beberapa pertengkaran yang tidak diinginkan pun lahir. Saudaranya, Cliff (Sterling K. Brown), merasa tidak dianggap oleh keluarganya sendiri. Kemudian, Coraline juga merasa tingkah Monk sangat aneh akhir-akhir ini. Ketika Monk menemukan karya "Fuck" itu ada di meja makan Coraline, ia mencaci maki karya tersebut di depan Coraline dengan membabi buta. Di sinilah, Monk lepas kontrol dan akhirnya Coraline meminta Monk untuk keluar dari rumahnya.

Yang paling saya apresiasi dari film ini adalah naskahnya. Dari awal, sindiran-sindiran yang dikeluarkan sangat menggelitik fenomena wokeism di Amerika Serikat. Sentilan terhadap fokus isunya yang direpresentasikan dalam dialog “Kuharap aku meninggal karena tusukan berat oleh Idris Elba yang berkeringat, atau mungkin dengan cara kurang mulia di bawah tusukan Russel Crowe yang berkeringat” sangat-sangat menusuk. Ia juga menyindir kalimat "Don't make stupid people famous" dengan cerdas. Sebab karakter Monk adalah karakter yang mengorbankan idealisme demi popularitas, dan ia melakukan banyak hal-hal bodoh untuk memenuhi itu. Sindiran tersebut juga ia tularkan lewat dialognya, "Makin bodoh, aku makin terkenal".


Selain dari sindiran-sindiran menohok tersebut, kemampuan Cord mengolah plotnya juga jempolan. Sangat menarik ketika ia menempatkan Monk sebagai orang kulit hitam yang tidak merasakan stereotip kebanyakan orang kulit hitam. Kemudian bagaimana dia menempatkan orang-orang kulit putih yang sangat hipokrit terhadap wokeisme. Ada satu kalimat yang benar-benar menunjukan hipokrisi tersebut ketika kalimat itu muncul dalam diskusi juri dalam penentuan pemenang ajang sastra terbaik. Situasinya adalah 3 orang kulit putih yang setuju karya "Fuck" dimenangkan melawan 2 orang kulit hitam, salah satunya Monk yang sangat tidak ingin karya itu menang. Salah satu dari 3 orang kulit putih itu bilang "ini saat penting untuk kita mendengarkan suara orang kulit hitam". Sedangkan, Monk dan juri kulit hitamnya menganggap karya ini lack of emotion. Namun, 3 orang kulit putih ini tidak peduli, mereka ingin karya ini menang demi mendapat pengakuan bahwa mereka peduli dengan isu ras.

Sebelum mencapai ending, American Fiction (2023) saya anggap akan tetap meneruskan plot linier seperti itu. Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Ini adalah model terbaru dari Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023) karya sutradara Indonesia, Yandy Laurens. Serupa tak sama. Sebuah penyegaran dan ya, FUCK. Saya agak merasa ditipu oleh film ini ketika film-nya sengaja membuka rahasia tersebut. Akan tetapi, saya yakin, filmnya tidak bermaksud seperti itu. Film ini sedang menguji seberapa dalam kita, sebagai penonton, terhipnotis pelan-pelan dalam sebuah karya fiksi. Subplot keluarga yang mengharukan sekaligus menghangatkan ini dihadirkan bukan tanpa alasan. Subplot-subplot ini yang berperan besar dalam "seberapa into-nya kita sebagai penonton terhadap sebuah karya fiksi" dan keputusan ini berhasil dieksekusi dengan baik oleh Cord Jefferson. Kreativitas pengolahan naskah inilah yang membuat film ini berhasil meraih Best Adapted Screenplay di Academy Awards 2024. Apakah layak? Silakan buktikan sendiri.





Tidak ada komentar: