09 Juni, 2024

REVIEW: HOW TO MAKE MILLIONS BEFORE GRANDMA DIES (2024) - PAT BOONNITIPAT


HANGAT. Ya, itulah kesan pertama saya ketika menyelesaikan film Thailand ini di bioskop. Kesan seperti itu adalah reaksi yang wajar setiap kali kita selesai menonton film drama. Akan tetapi, kehangatan di film ini tidaklah sama dengan film-film drama biasanya. How To Make Millions before Grandma Dies (2024) memiliki keistimewaan tersendiri sehingga membuat kita semua, penonton dari Indonesia, merasa perlu untuk ikut mengalir dalam cerita yang dieksekusi Pat Boonnitipat ini. Keistimewaan tersebut berupa kesederhanaan premis cerita dan naskah, karakter, serta aspek teknisnya, tanpa harus mengurangi kadar emosional yang juga terkandung di dalam filmnya. Pat Boonnitipat melakukan debut film panjangnya dengan brilian di film ini. Semuanya mengalir begitu enak dan apa adanya.

Film ini memiliki premis yang sederhana. Sebelum memasuki cerita, penonton diperkenalkan dengan sebuah keluarga Tionghoa-Thailand sederhana yang masih rajin melakukan tradisi. Keluarga ini terdiri dari seorang manula dengan tiga anaknya dan satu orang cucu. Suatu hari, sang nenek, Amah (Usha Seamkum), divonis kanker dan keluarganya harus menghadapi kenyataan bahwa hidup Amah tinggal 1 tahun lagi menurut vonis dokter. Situasi tersebut membuat anak-anaknya cemas. Mereka bersepakat untuk tidak memberi tahu kabar ini ke Amah. Akan tetapi, keadaan tidak berlangsung baik. Kiang (Sanya Kunakom) dan Soei (Pongsatom Jongwilas) sebagai anak sulung dan anak tengah tidak bertanggung jawab penuh mengurus orang tuanya. Kiang, yang sudah hidup kaya, terpengaruh untuk mengincar harta warisan Amah. Sedangkan Soei, masih bermasalah dengan utang-utang yang belum dibayarkan akibat judi, sehingga ia kerap kali mencuri uang ibunya ketika berkunjung. Sementara, anak perempuannya, Chew (Sarinrat Thomas), tidak punya cukup waktu untuk bekerja dan merawat Amah, ia bahkan harus pindah shift  kerja agar bisa merawat ibunya.

Namun, suatu hari, muncullah cucu laki-lakinya, M (Putthipong Assaratanakul). M berniat mengurus neneknya sekaligus mengincar warisannya, sebab ia merupakan pengangguran akibat putus sekolah. Awalnya, ia mengunjungi sahabatnya, Mui (Tontawan Tantivejakul), yang bekerja mengurus seorang lansia. Ia meminta saran bagaimana cara membangun kedekatan dengan orang tua. M yang awalnya hanya bolak-balik mengantarkan makanan, lama-lama ia mulai berani meminta izin Amah untuk ikut tinggal bersamanya. Makin sering mereka bertemu dan berinteraksi, M akhirnya berhasil membangun keintiman dengan Amah.

Salah satu yang paling menonjol dari film ini adalah chemistry antara M dan Amah. Pat Boonnitipat menghendaki keduanya bermain secara natural dan itulah yang terjadi. Keduanya menciptakan kehangatan dari adegan-adegan sederhana seperti memandikan orang tua, tidur bersama, bercanda, hingga bermain judi. M juga sering membantu Amah berjualan di pasar. Kegiatan-kegiatan ini membuat mereka sejenak melupakan penyakit Amah, hingga pada akhirnya Amah harus menjalani kemoterapi. Di sinilah konflik antar anggota keluarga memuncak. Kiang bersikeras merawat Amah di rumahnya. Namun, karena jarak rumah sakit terlalu jauh, usul itu ditolak oleh M. M juga harus berhadapan dengan Soei yang kerap mencuri uang Amah. Saat masalah-masalah ini mengganggu M, masalah baru datang lagi. Amah mengetahui bahwa rumahnya sedang dijual secara daring, ia pun kecewa terhadap M. M juga kecewa terhadap Amah karena Amah dianggap kerap memberikan perlakuan yang tidak adil kepada dirinya. M merasa tidak mendapatkan apa-apa, sementara anak-anaknya, yang sering merugikan Amah, mendapatkan warisan dalam bentuk uang dan rumah.

Porsi cerita antara Amah-M dan anak-anak Amah dibagi dengan adil dan proporsional. Keduanya dikombinasikan dengan baik oleh Pat Boonnitipat. Pergantian antara keduanya dibuat dengan sangat halus, tidak terasa loncat, atau perbedaan yang siginifikan. Tentu saja, naskahlah yang paling krusial terhadap halusnya transisi antara kedua bagian ini. Pat Boonnitipat juga brilian memainkan perasaan penonton lewat dialog sehari-hari yang juga terasa halus, tidak dipaksakan, dan sangat realistis. Dialog-dialog ini akan sangat mudah ditemukan di kehidupan masyarakat Asia, khususnya Asia Tenggara. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak penonton Indonesia merasa sangat terhubung dengan film ini.

Film ini cukup menghangatkan untuk ditonton. Kehangatan di dalam film ini muncul dengan cara natural, realistis, dan genuine tanpa harus ditambahkan bumbu-bumbu lain. Naturalitas itu terus konsisten sejak adegan pertama hingga terakhir. Selain itu, seperti kebanyakan film yang diproduksi GDH, sentuhan emosional di film ini tetap kuat. Sentuhan emosional di film ini bukan diciptakan dari adegan-adegan bombastis yang terlalu didramatisasi, melainkan cukup hanya dengan dialog-dialog, gestur, dan mimik wajah yang sederhana, simpel, dan tidak terlalu ekspresif, sesuai dengan cara berkomunikasi orang-orang Asia. Itulah yang menyebabkan saya merasa perlu untuk mengikuti perjalanan keluarga ini. 

Saya perlu memberi apresiasi lebih kepada Usha Seamkum yang bisa dengan sangat luwes memerankan Amah di debut aktingnya. Ya, debut. Ini adalah film pertama dan karir pertamanya di industri film. Beliau melakukan tugasnya dengan sangat baik, tanpa cela sama sekali. Selain itu, saya menyukai beberapa simbol yang disisipkan sang sutradara di film ini. Seperti Buah Delima yang menggambarkan kesuburan dan keberkahan hidup, simbol kereta mundur yang akan tampak di ending, dan beberapa simbol lainnya. Dengan sinematografi yang luar biasa, visual storytelling di film ini juga ikut terangkat, sama baiknya dengan dialog-dialog yang tersebar di sepanjang film.

Secara keseluruhan, How To Make Millions before Grandma Dies (2024) sangat cocok ditonton oleh semua orang, terutama orang-orang Asia yang dekat dengan cerita di film ini secara kultural. Film ini juga cocok ditonton orang-orang yang menggemari plot twist dengan fluktuasi emosi yang maksimal. Mengapa twist di film ini bisa begitu maksimal memecahkan air mata penonton? Jawabannya kembali lagi ada di naskah. Naskah yang pelan-pelan dibangun serta chemistry Amah dan M yang luar biasa hangat sudah cukup untuk membangun sebuah adegan klimaks yang tiada duanya. Adegan klimaks yang akan membuat tangis kita pecah sejadi-jadinya. Adegan klimaks yang akan membuat kita menaruh perasaan sayang pada Amah dengan penuh, sepenuhnya. Ya, pada akhirnya, kita semua akan menyayangi Amah seperti kita menyayangi orang-orang terdekat kita ketika mereka sudah tiada.


Tidak ada komentar: