18 Maret, 2024

REVIEW: PAST LIVES (2023) - CELINE SONG

 


MEMBEKAS. Sebuah kata yang kemungkinan besar dapat mewakili keseluruhan film ini. Ya, membekas, seperti pada film-film romance yang bagus sebelumnya. Sudah barang wajib apabila film romance harus membekas dalam setiap hati penontonnya untuk bisa dianggap sukses. Celine Song, lewat film debutnya, Past Lives (2023), berhasil lulus dan melampaui tuntutan tersebut. Film ini akan sangat membekas, terutama bagi orang yang pernah mengalami kisah seperti ini, atau bagi siapa pun yang bersedia membayangkan kemungkinan kisah seperti ini kembali terjadi di masa depannya. Seperti judulnya, Past Lives (2023) adalah bentuk romantisisasi kisah-kisah masa lalu yang manis tanpa harus membatalkan realita. Harus diakui, naskahnya memang membawa penonton ke arah sana. Membuat penonton merasa dan sadar bahwa hidup yang dijalankan saat ini adalah kenyataan sesungguhnya. Memang, misi ini tampak mustahil bagi sebagian orang, terutama mereka yang terlalu dalam mencintai masa lalunya. Namun, jangan khawatir, sebab Past Lives (2023) hadir untuk membantu.



Celine Song memulai rangkaian Past Lives (2023) lewat secarik kertas yang berisikan kisah ala-ala cinta monyet antara Na-young kecil (Moon Seung-ah) dengan Hae-sung kecil (Yim Seung-min) pada saat sekolah. Mereka merupakan teman satu kelas yang sama-sama bersaing untuk mendapatkan nilai tertinggi di kelasnya. Hari itu, Hae-sung berhasil mengalahkan Na-young untuk pertama kalinya, yang ternyata hasil ini membuat Na-young sedih dan hal ini membuat Hae-sung memberikan perhatiannya pada Na-young. Lanjut cerita, kebersamaan keduanya membuat keduanya saling menyukai. Ibu Nora (Yoon Ji-hye) pun berinisiatif untuk membuat mereka kencan. Akan tetapi, kencan tersebut merupakan kado terakhir untuk Na-young sebelum mereka pergi meninggalkan Seoul untuk pindah ke Kanada.

Dalam sequence ini, Celine hanya ingin membangun pondasi untuk kerbelangsungan kisah mereka. Akan tetapi, kata 'hanya' di atas bukan untuk menunjukkan bahwa sequence ini cuma sebatas pondasi tanpa rasa, melainkan sebaliknya. Sensitivitas Celine berperan besar dalam keberhasilan emosional di sequence ini. Seperti yang dijelaskan di awal, Celine merangkai adegan demi adegan sederhana itu dengan kemasan cinta monyet, ketika perasaan manusia sedang naif-naifnya dan belum dicekoki dengan doktrin-doktrin cinta orang dewasa.

Setelah pondasi yang ia bangun tersebut, Celine menghadirkan kisah mereka yang telah menjalani kehidupannya masing-masing. Hae-sung (Teo Yoo) menjalani wajib militer di Korea Selatan sebelum melanjutkan sekolahnya sebagai mahasiswa teknik, sedangkan Na-young (Greta Lee) menjalani karirnya sebagai seorang penulis drama. Ia juga telah terbiasa dengan nama Nora (Greta Lee), nama yang telah direncanakan pada hari-hari menuju kepindahannya. Kehidupan masing-masing ini hanya diizinkan untuk tampil sebentar. Celine menolak berpisah dini dengan Nora dan Hae-sung. Oleh karena itu, singkat cerita, Nora secara tiba-tiba membicarakan Hae-sung dengan ibunya. Ia penasaran mengapa Hae-sung kerap menanyakannya di halaman akun Facebook ayahnya. Dari sinilah Hae-sung dan Nora dipertemukan kembali melalui video call yang dilakukan setiap hari. 


Celine masih setia dengan hubungan tanpa status yang mereka jalani. Mulai dari basa-basi ala teman lama yang baru saja bertemu hingga berujung pada gerimis air mata serba salah yang mengakhiri hubungan mereka. Selama proses itu, hal-hal lazim seperti percakapan yang memuat cerita-cerita masa lalu dimunculkan. Di babak inilah, Celine mulai meromantisisasi kehidupan masa lalu dari mereka berdua. Disebutlah kebiasaan menangis Nora yang selalu bisa diatasi oleh Haesung, hal-hal kecil yang mereka ingat dan sebagainya. Namun, kisah-kisah masa lalu ini ternyata memainkan peran yang lebih besar daripada hanya sekadar nostalgia. Ada benih-benih rasa yang kembali tumbuh di antara mereka. Akan tetapi, yang menarik di sini adalah sensitivitas Celine untuk tidak memberikan beban yang sama untuk mereka. Ia kembali memberi beban emosional yang lebih besar kepada Hae-sung. Hal ini bukannya tanpa dasar, di sequence cinta monyet pun, beban emosional Hae-sung lebih berat, sebab ia menghadapi perpisahan, sedangkan Nora lebih melihatnya sebagai lembaran baru untuk kehidupannya.

Saya suka dengan cara Celine mengemas film ini. Saya tidak menemukan dramatisasi apa pun di film ini selain dalam wujud dialog dan ekspresi wajah. Tak ada lagu atau musik yang melatarbelakanginya, tak ada kejadian yang terlalu manis atau terlalu pahit untuk dikonsumsi, semuanya diusahakan dalam bentuk datar. Begitu juga dengan performa dari para cast-nya, segala bentuk emosi hanya ditunjukkan melalui wajahnya dengan bantuan dialog. Keputusan ini konsisten dijalankan Celine dari awal hingga akhir, bahkan ia masih setia dengan keputusan ini pada babak klimaks. 


Ya, klimaks. Klimaks film ini sangat datar dari aspek teknis. Pondasi klimaks film ini diciptakan ketika Nora akhirnya menikah dengan teman seprofesinya, Arthur (John Magaro), sementara kisah asmara Hae-sung di Seoul tidak berlanjut. Hingga pada suatu hari, keinginan Hae-sung untuk menemui Nora sudah mencapai titik maksimal. Ia pun terbang dari Seoul untuk menemui Nora. Nora pun menyanggupi ajakan Hae-sung untuk bertemu. Reuni Hae-sung dan Nora yang muncul sebelum klimaks juga digambarkan dengan datar. Namun, dialog-dialog emosional menjadi senjata Celine untuk membuat penonton makin larut dalam perasaan dilema. Ya, Celine benar-benar hanya mengandalkan mimik dan dialog dari para karakternya.

Past Lives (2023) sangat bergantung pada kehebatan naskahnya. Tanpa naskah dengan karakterisasi dan dialog-dialog yang kuat, film ini akan terasa hampa dan lack of emotion. Kepiawaian Celine dalam mengolah naskahnya berhasil membuat adegan-adegan di film ini begitu membekas di benak penontonnya. Salah satu contohnya adalah ketika adegan dialog antara Nora dan Arthur (John Magaro), suaminya, di ranjang. Kembali lagi sensitivitas Celine menjadi andalan. Semua keresahan seorang suami dalam diri Arthur yang melihat istrinya sedang mengunjungi 'kisah masa lalunya' mampu dilimpahkan dengan baik, tanpa harus meledak-ledak. Dalam babak ini, penonton diberikan ruang yang sangat luas untuk berempati sekaligus hormat terhadap karakter Arthur dan Celine sangat piawai menjaga itu. Ia membuat karakter Arthur tetap baik tanpa harus terlihat bodoh dengan beban emosionalnya yang luar biasa berat.


Bagaimana dengan karakter Nora? Apakah ia dipersalahkan atas kunjungan 'wisata masa lalu'-nya? Celine tidak ingin mengambil opsi ini sepertinya. Ia sangat fokus terhadap film ini, Past Lives. Ia memilih masa lalu hanya sebagai masa lalu saja, tidak lebih. Namun, layaknya seorang manusia, ia mengizinkan segala jenis romantisisasi dilangsungkan dalam kepala Nora dan Haesung. Ya, sekadar romantisisasi saja, tidak lebih. Nora pun sangat memahami suaminya, Arthur, yang ia tunjukkan lewat rasa cintanya, kesetiaannya, dan kesediannya untuk tetap menganggap ini sebagai kunjungan masa lalu saja. Ya, masa lalu. Sebab yang ada di dalam kepalanya adalah Hae-sung kecil, ketika keduanya masih tinggal di Seoul.

Di awal saya sempat bilang bahwa misi legowo ini tampak mustahil bagi sebagian orang, terutama mereka yang terlalu dalam dan ekspresif mencintai masa lalunya. Kesimpulannya, Past Lives (2023) berhasil memotret hubungan unik di antara ketiga karakter ini dengan sangat dalam, dan yang paling menarik, tanpa ada sedikitpun penyematan rasa dendam. Ending film ini adalah konklusi logis yang mengakhiri hubungan unik ini. Celine menolak menyelesaikan film ini dengan menjadikan salah satu dari karakternya sebagai korban. Sebuah perpisahan yang memang harus terjadi. Hae-sung dan Nora memang bukan jodoh dan fakta itu harus diterima, baik oleh mereka dan juga penonton yang berharap mereka bersatu kembali. Pada akhirnya, Nora dan Hae-sung adalah masa lalu yang tak perlu diromantisasi berlebihan. Begitu juga hubungan suami-istri yang mengikat Nora, tidak seharusnya disesalkan. Namun, apakah hal semacam ini mampu dengan mudah diterima oleh penonton? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Penonton yang berhak menjawab sebab aktivitas memahami film tidak bisa dilepaskan dari pengalaman pribadi penontonnya.

 


Tidak ada komentar: