05 Maret, 2024

REVIEW: DUNE: PART TWO (2024) - DENIS VILLENEUVE



FANTASTIS. Saya kira kita semua yang sudah menonton Dune: Part Two (2024) sepakat bahwa ini adalah sajian terbaik dari sang koki, Denis Villeneuve, sepanjang karirnya. Kemewahan dan kemegahan film ini susah dikalahkan oleh siapa pun. Kesediaan Villeneuve untuk tancap gas dalam aspek teknis seperti scoring, sound designing, dan visual membawa peningkatan signifikan dibandingkan film sebelumnya, Dune (2021). Dibekali penceritaan dan latar belakang yang dipaparkan dengan jelas di film pertamanya, Dune: Part Two (2024) hadir dengan cerita yang lebih padat dan menawarkan pengalaman yang lebih seru untuk diikuti. Ini yang membuat Dune: Part Two (2024) menjadi sekuel yang jauh melampaui film pertamanya.

Sebelum menonton film ini, kita wajib menonton Dune (2021) untuk mengetahui latar belakang cerita yang ditampilkan di film ini. Dune: Part Two (2024) mengambil cerita Paul Atreides (Timothée Chalamet), anak dari Leto Atreides (Oscar Isaac) dan Lady Jessica (Rebecca Ferguson), yang bergabung dengan Fremen (suku bangsa asli Arrakis). Sebagai sedikit pengingat, keluarga Atreides yang berbasis di Caladan hancur diserang oleh keluarga/House Harkkonnen yang dibantu oleh Kaisar. Inilah yang membuat Paul Atreides dan ibunya, Lady Jessica, bergabung dengan Fremen untuk merencanakan aksi balas dendam terhadap House Harkonnen. 


Di babak pertama, penceritaan film ini fokus terhadap karakter Paul yang sedang membuktikan diri untuk dapat diterima dengan baik oleh Fremen. Ia melakukan beberapa ritual seperti menyatu dengan gurun hingga mengendalikan Shai-hulud, cacing besar penjaga gurun yang dipercaya Fremen sebagai makhluk yang sakral. Sembari Paul membuktikan diri, salah seorang pemimpin Fremen, Stilgar (Javier Bardem), menemukan berbagai tanda bahwa Paul ini adalah seorang Mahdi/Messiah (pemimpin yang akan mengantar kaum Fremen ke Firdaus) dan Lisan Al-Ghaib (suara dari dunia luar). Dari tanda-tanda itu, Stilgar makin percaya bahwa Paul adalah seorang Mahdi. Namun, kepercayaan ini ditentang oleh Chani (Zendaya). Menurut Chani dan beberapa temannya, ini hanyalah ramalan yang tak berdasar. Ia berpendapat seperti itu karena sudah muak menjadi bangsa yang tertindas dan Fremen sudah seharusnya mampu menentukan nasibnya sendiri. Ramalan-ramalan 'yang sudah tertulis' tersebut hanya akan memperpanjang penderitaan bangsa Fremen di Arrakis.

Masih dalam babak ini, Paul yang terus berusaha meyakinkan Fremen akhirnya berhasil diterima sebagai salah satu petarung. Di sinilah, benih-benih cinta Paul ke Chani mulai berkembang. Di babak ini juga, peran Lady Jessica sebagai salah satu dari Bene Gesserit disorot. Kesengajaan Jessica melahirkan anak lelakihal ini dianggap merusak rencana bersama yang sudah dijalankan Bene Gesserit selama bertahun-tahun—akhirnya pelan-pelan terbongkar. 

Ini babak yang solid. Mengapa? Pengembangan karakter Paul Atreides dideskripsikan dengan sangat baik. Dengan sedikit bumbu coming of age dan pencarian identitas, Paul pelan-pelan menemukan jawaban lewat tanda-tanda yang muncul lewat mimpinya. Babak ini juga banyak menceritakan bagaimana Fremen hidup dan survive di gurun pasir nan berbahaya itu, bagaimana Fremen memperlakukan rempah-rempah Melange-nya, dan bagaimana Fremen merawat kepercayaan dan berbagai ritualnya. Semua hal ini disusun dengan pelan dan enak oleh Villeneuve, tanpa harus terburu-buru. 


Sebagian besar adegan di first act film memberikan pengalaman yang luar biasa. Bagai sebuah trik sulap, Villeneuve 'menghipnotis' penonton dengan keputusan audio dan visualnya. Salah satu adegan yang bisa menjadi contoh trik sulap tersebut adalah ketika Paul berusaha menaklukkan Shai-hulud dan disaksikan ratusan Fremen. Dengan gubahan audio Hans Zimmer dan campur tangan Greig Fraser di belakang kamera, adegan ini bak ritual sinematik yang mampu dengan mudah meledakkan rasa kagum penonton. Saya terkejut setelah mendapati mata saya berkaca-kaca dan juga mulut yang menganga tanda tak percaya, yang kemudian disusul oleh gelengan kepala yang tak tertahankan. Itu merupakan salah satu pengalaman yang takkan tergantikan oleh film lainnya.

Di second act, Villeneuve memperkenalkan visual hitam-putih untuk menggambarkan kemuraman House Harkonnen di Giedi Prime. Baron Vladimir Harkonnen (Stellan Skarsgård) masih sama seperti dulu, seorang yang licik dan serakah yang berambisi menjadikan keturunannya sebagai kaisar di Arrakis. Karena kondisinya yang mulai memburuk, ia sudah mempersiapkan keponakannya, Feyd-Rautha Harkonnen (Austin Butler), sebagai penerus klan Harkonnen, yang juga dipilih oleh sebagian besar jajaran Bene Gesserit dan Kaisar untuk meneruskan takhta kekaisaran Arrakis. 


Feyd-Rautha Harkonnen merupakan karakter yang baru muncul di film kedua. Kemunculannya berhasil dimaksimalkan oleh Villeneuve. Ia mengemas Feyd-Rautha sebagai sosok psikopat yang mengerikan hanya melalui visual dan audionya. Citra kejam, heartless, namun lemah secara seksual yang disematkan terhadap karakter Feyd-Rautha juga berhasil dimainkan dengan luar biasa oleh Austin Butler. Menurut saya, Feyd-Rautha Harkonnen berhasil menjadi salah satu karakter scene stealer dibanding karakter lain. Untuk di second act, 'ritual sinematik' kembali dialami oleh penonton. Kali ini melalui pertunjukan Gladiator skala besar yang dijalankan Baron Harkonnen untuk menguji keponakannya. Arena yang supermasif besar dengan visual hitam-putih yang disertai gemuruh dan sorak sorai rakyat Giedi Prime menjadikan adegan ini sebagai gold scene di babak kedua film.

Memasuki third act, porsi penceritaan film ini kembali menyorot aktivitas bangsa Fremen. Kali ini, Fremen makin terdesak di wilayah Utara Arrakis. Lady Jessica yang sudah resmi menjadi Bunda Ketua memerintahkan Paul untuk hijrah ke wilayah Selatan, tempat di mana fundamentalis Fremen menetap. Dengan beberapa pertimbangan, Paul pun menerima perintah tersebut. Di babak ini, Paul membentuk pasukan perang yang sangat banyak untuk menyerang House Harkonnen dan mengincar Sang Kaisar untuk bertanggung jawab atas kematian ayahnya. Ini adalah babak puncak, babak yang penuh dengan kemewahan dan kemegahan teknis, babak yang banjir dengan 'ritual sinematik', dan babak yang mungkin akan membuat penonton meneriakkan "Lisan Al-Ghaib" untuk setiap keajaiban yang muncul. Bumbu sci-fi dan colossal berhasil diharmonisasikan dengan sangat baik. Lagi-lagi campur tangan Hans Zimmer dan Greig Fraser membawa dampak fantastis terhadap adegan perang di babak ini. Dan ya, mata saya kembali berkaca-kaca menyaksikan kemegahan sinema yang terjadi. Kalau saya dibolehkan untuk memilih third act terbaik dekade ini, saya akan pilih babak ini.


Setelah adegan perang yang sangat bombastis, penonton diantar ke sebuah adegan 1v1 antara Paul Atreides dan Feyd-Rautha Harkonnen. Ajaibnya, di adegan ini, Hans Zimmer mematikan musiknya dan mengizinkan benturan pedang, benturan tubuh, serta hembusan napas menjadi nyawa utama. Hampir bisu. Tak ada suara lain yang muncul selain dialog Paul-Feyd dan suara pertarungan tersebut. Sekali lagi, ini merupakan peningkatan signifikan dari Dune (2021) yang memiliki kelemahan dari sisi koreografi dan eksekusi adegan laga. Selamat untuk para penonton, karena adegan tarung di Dune: Part Two (2024) jauh melampaui film pertama.

Dari departemen acting, selain Austin Butler yang saya puji barusan, saya juga angkat topi terhadap penampilan Zendaya. Menurut saya, ini adalah penampilan terbaik Zendaya sepanjang karirnya. Naskah yang ditulis Villeneuve bersama dengan John Spaihts mengizinkannya memiliki ruang pengembangan yang luar biasa. Film ini juga menjadi panggung terbaik Timothée Chalamet. Saya tidak pernah melihat penampilan acting Timothée sekeren ini di film-film sebelumnya. Karismanya sebagai seorang Messiah sangat terasa di film ini. Selain itu, performa Florence Pugh sebagai Princess Irulan yang merupakan karakter baru juga menakjubkan. Ia mampu memaksimalkan karakter asli Irulan yang less confidence dengan sangat baik. Untuk jajaran cast yang lain, saya tidak menemukan kekurangan sama sekali.

Terakhir, Dune: Part Two (2024) merupakan ritual sinematik yang lahir dari segenap pengorbanan Villeneuve di Dune (2021). Ya, Dune: Part Two (2024)  yang tampil menakjubkan dari semua aspek tak lepas dari peran film pertamanya. Villeneuve bersedia kalem di film pertama dengan memperkenalkan cerita, unsur politis, dan juga Dune sebagai sebuah sajian mitologi yang dibalut sci-fi. Ia tak menghendaki sesuatu yang masif dan megah terjadi di film pertama dan ini merupakan pengorbanan sekaligus keputusan yang sangat baik. Naskah cerita yang padat dan solid, pameran audiovisual yang bombastis, serta kekuatan pondasi yang ia ciptakan di Dune (2021) membuat film ini akan menyegel 1 tempat dalam jajaran film terbaik tahun ini. Ya, dan dengan keberhasilan ini, Villeneuve akan segera ditasbihkan sebagai Muad'dib di kancah sinema sci-fi dan kami sebagai penikmat karyanya akan dengan bangga menyebutnya sebagai Lisan Al-Ghaib.







Tidak ada komentar: