08 Maret, 2024

REVIEW: THE ZONE OF INTEREST (2023) - JONATHAN GLAZER


MENCEKAM. Mungkin ini kata yang paling bisa dan tepat untuk menjawab pertanyaan "Gimana filmnya tadi?". Ya, seperti itulah perasaan yang saya alami ketika menonton The Zone of Interest (2023) karya Jonathan Glazer. The Zone of Interest (2023) bukanlah film bergenre horror, apalagi setan-setanan, bukan. Ini film yang memotret sebuah keluarga tentara yang sedang menjalani kehidupan dan diselimuti kebahagiaan. Namun, Jonathan Glazer tak hanya ingin memotret kehangatan tersebut, melainkan menciptakan kontras untuk membuat film ini terasa kelam dan menyakitkan. Dengan pertimbangan tersebut, Jonathan Glazer menggabungkan keadaan hangat tersebut dengan keadaan kelam di dalam kamp konsentrasi Auschwitz. Bagaimana caranya? Bagaimana cara Jonathan menciptakan kontras yang ekstrem tersebut?

Ya, The Zone of Interest (2023) merupakan penyegaran di antara jajaran film-film Holocaust yang telah ada sebelumnya. Seperti yang telah saya paparkan di atas, film ini mengambil perspektif dari sebuah keluarga kecil yang tinggal di sekitar kamp konsentrasi Auschwitz. Kepala keluarga tersebut adalah seorang tentara NAZI yang bertugas di wilayah itu. Ia memiliki rumah yang berdiri tepat di sebelah kamp konsentrasi, bahkan hanya dipisahkan oleh tembok yang tinggi. Bangunan rumah tersebut memang terbilang kecil, tetapi mereka memiliki lahan yang luas. Lahan tersebut mereka jadikan taman, tempat beraktivitas, dan tempat bermain bagi anak-anak mereka.


Mengapa film ini mencekam? Sepanjang film, Jonathan tak sedikit pun menyeberangi dan melewati dinding tersebut untuk memperlihatkan kekejaman NAZI terhadap bangsa Yahudi di kamp konsentrasi Auschwitz. Secara visual, Jonathan Glazer setia menaruh fokus pada keseharian keluarga ini. Ke mana pun keluarga ini bergerak, ia selalu mengikutinya. Sejak visual film ini ditunjukkan pertama kalinya melalui layar, visual film ini sudah langsung menaruh fokus pada keluarga ini. Adegan pertama film ini adalah adegan yang memperlihatkan keluarga kecil ini sedang mengadakan liburan sederhana di pinggir sungai. Kemudian, di adegan selanjutnya, Jonathan memperlihatkan keadaan rumah keluarga tersebut. Tak lupa ia juga menyorot aktivitas sang kepala keluarga, Rudolf Höss (Christian Friedel), yang sedang patroli dan menyiapkan pasukan untuk menjaga wilayah tersebut. Sementara, istrinya, Hedwig Höss (Sandra Hüller), melakukan pekerjaan rumah tangga.

Kesetiaan visual itu bukan tanpa maksud, segala jenis kehangatan visual yang terjadi di keluarga tersebut merupakan cara Jonathan menunjukkan kontrasnya. Lalu, bagaimana kekejaman NAZI itu ditunjukkan? Ya, inilah bagian terburuknya. Jonathan Glazer tampaknya sangat ingin menguji saraf sensoris penontonnya, terutama indera pendengaran. Sebelum layar bioskop memancarkan cahayanya untuk pertama kali, Jonathan lebih dulu memutar musik dan efek suara yang mencekam dan atmosferik selama lebih dari 2 menit. Ya, dalam 2-3 menit pertama film ini bermula, penonton hanya disajikan gubahan musik yang disturbing dan mengganggu batin. Gelap. Hitam. Tak ada visual, tak ada cahaya.

Penataan suara tersebut konsisten dilakukan hampir di setiap adegan. Salah satu contohnya adalah ketika Rudolf dan Hedwig sedang membicarakan keinginan Hedwig untuk berlibur setelah perang usai di malam hari menjelang tidur. Sekilas ini adegan hangat yang biasa saja. Namun, tidaklah demikian. Di balik dialog hangat mereka, Jonathan sengaja menaruh suara teriakan dan tembakan yang saling bersahut, sementara Hedwig dan Rudolf tidak memedulikannya sama sekali, bahkan bersikap seolah tak ada apa-apa. Mereka langsung memejamkan matanya dan melanjutkan tidurnya. Keputusan penataan suara ini tak hanya sekali terjadi, melainkan berkali-kali, sehingga mampu menciptakan perasaan mencekam dan membangkitkan amarah penonton dengan efektif.


Selain kecerdasan menciptakan kontras melalui suara, Jonathan juga tak lupa menggunakan fitur visual untuk menjelaskan kekejaman NAZI terhadap bangsa Yahudi. Memang penggunaan visual dalam misi ini tidaklah banyak. Ia hanya menyelipkan beberapa detil kecil, tetapi tetap sanggup memberikan rasa takut dan mencekam dengan efektif. Salah satu contohnya adalah ketika ada sebuah adegan Rudolf mengajak anak-anaknya berenang dan bermain di sungai, sementara ia fokus memancing. Lalu, tiba-tiba ia menemukan sebuah potongan tulang manusia ikut hanyut di sungai tersebut. Kejadian tersebut membuatnya marah. Ia pun buru-buru mengajak anak-anaknya untuk naik dan segera pulang. Setelah itu, ia menegur pasukannya agar tidak teledor dalam melakukan 'tugasnya'. Selain contoh tadi, penampakan asap hitam di balik dinding pagar rumah Rudolf sudah cukup menjelaskan kekejaman tersebut. Sementara, kontrasnya cukup ditunjukkan lewat berbagai aktivitas 'senang-senang' yang dilakukan keluarga Höss di taman rumahnya.


Setelah berbagai kehangatan keluarga ini terus-menerus ditampilkan oleh Jonathan. Akhirnya, keluarga ini pun mengalami sebuah konflik, yakni Rudolf Höss akan segera dipindahtugaskan secara tiba-tiba. Sementara istrinya, Hedwig, yang bercita-cita hidup tenang di rumah tersebut mengalami keberatan. Di sinilah, kecerdasan Jonathan kembali muncul. Ia berani menciptakan konflik keluarga yang cukup berat tersebut di tengah-tengah konfilk yang jauh lebih berat, yakni segala jenis kekejaman yang diterima bangsa Yahudi di balik pagar rumah Rudolf. Jonathan bahkan tak ragu untuk menampilkan fase stress yang dialami Hedwig ketika suaminya sedang jauh dari pelukannya. Di fase klimaks ini, penonton dihadapkan pada kebingungan moral yang luar biasa, atau bahkan malah dihadapkan pada amarah yang meletup-letup. Penonton dipaksa menyaksikan sebuah konflik berat, akan tetapi tidak cukup berat dibanding dengan apa yang bangsa Yahudi alami di sepanjang pendudukan NAZI. Entah bagaimana membahasakannya, yang jelas kecerdasan Jonathan Glazer dalam membingkai konflik perlu diapresiasi setinggi-tingginya.

Selain kehebatannya dalam menciptakan kontras dan membingkai konflik pada naskahnya, Jonathan juga brilian dalam aspek teknis seperti sinematografi dan simbolisasi. Ada sekumpulan adegan dengan pemberian efek foto negatif, yakni ketika ada seorang perempuan dewasa menyelinap di sekitar kamp untuk memberikan buah-buahan sebagai makanan untuk pekerja Yahudi. Efek gambar negatif tersebut selain untuk menunjukkan sebuah kebaikan, juga mempertegas kontras atau kebalikan dari semua kejahatan yang dilakukan NAZI. Efek gambar negatif itu juga merupakan upaya Jonathan dalam rangka memberikan perlindungan visual terhadap perempuan tersebut dari identifikasi tentara NAZI.


Kesimpulannya, The Zone of Interest (2023) adalah pameran keputusan-keputusan cerdas dari sang sutradara, Jonathan Glazer, untuk memotret peristiwa Holocaust yang dilakukan NAZI terhadap bangsa Yahudi. Jonathan Glazer berhasil membuat film ini berdampak ke penonton tanpa harus menggunakan dialog yang memuat rasisme atau adegan-adegan yang  diskriminatif. Ia hanya perlu memaksimalkan ketidakpedulian dan nir-empati yang terdapat pada diri manusia ke level yang mengerikan. Apa yang membuatnya berhasil? Penciptaan kontras dan pengemasan konflik adalah amunisi utamanya. Dua aspek ini mampu tampil maksimal bukan tanpa alasan. Kepekaan visual dan audio yang tinggi sangat berdampak terhadap kesuksesan film ini dan itulah yang diwujudkan Jonathan Glazer dalam The Zone of Interest (2023). 


Tidak ada komentar: